page hit counter -->

SENYAWA ANTINUTRISI PIPERIDIN ALKALOID PADA TANAMAN HEMLOCK

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Senyawa ini tersusun atas karbon, hidrogen, nitrogen dan oksigen. Hampir seluruh alkaloid berasal dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Alkaloid adalah famili dari alkalin, senyawa yang mengandungsubstansi dasar nitrogen basa, biasanya dalam bentuk cincin heterosiklik.Alkaloid biasanya dinyatakandengan nama trivial dan hampir semuanya diberi akhiran “–in” yang mencirikan alkaloid (Wahyu, 1992).

Klasifikasi alkaloid tersebut meliputi pirrolizidin alkaloid, peperidin alkaloid, piridin alkaloid, indol alkaloid, quinolizidin alkaloid, steroid alkaloid,polisiklik diterpen alkaloid, indolizidin alkaloid, triptamin alkaloid, tropanalkaloid, fescue alkaloid dan miscellaneous alkaloid.Alkaloid dijumpai pada tanaman seperti kentang, tomat DAN jamur serta pada hewan seperti kerang-kerangan. Beberapa diproduksi dalam tubuh manusiaseperti histamin. Tanaman yang kaya akan alkaloid adalah apocynaceae,barberidaceae, liliaceae, menispermaceae, papaveracea papilionaceae,ranunculaceae, rubiaceae, rutaceae dan solanaceae. Sedangkan golongan yang mempunyai alkaloid sedang adalah caricaceae, crassulaceae, erythroxylaceae danrhamnaceae. Sedangkan yang tidak mengandung alkaloid adalah labiatae dansalicaceae.

Asam-asam amino ornitin dan lisin adalah senyawa-senyawa awal (prekursor) dalam biosintesis alkaloid alisiklik. Alkaloid ini yang mempunyai cincin pirolidin seperti higrin, hiosiamin, isopeletierin dan pseudoisopeletierin dan piperidin seringkali disebut alkaloid sederhana.

Pada biosintesis alkaloid ini, ornitin atau lisin pertama-tama mengalami dekarboksilasi.menghasilkan diamina yang sebanding. Selanjutnya, diamina ini mengalami deaminasi oksidatif menghasilkan amino aldehida. Hampir semua alkaloid berasal dari asam amino triptofan. Alkaloid yang sederhana seperti serotonin dan psilosibin, terbentuk sebagai hasil dekarboksilasi dari turunan triptofan yang sebanding.

Alkaloid ini ditemukan bersama-sama dalam Claviseps purpurea. Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan fisiologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Meskipun kebanyakan alkaloid adalah racun seperti striknin, coniin dan kolsicin, beberapa digunakan di bidang kesehatan sebagaianalgesik atau anastetik seperti morfin, kokain, atropin, kafein, quinin, teofilin danteobromin (Wahyu, 1992).

A. Piperidin Alkaloid
Piperidin alkaloid diidentifikasi dari lingkaran heterosiklik jenuh yang dimilikinya, sebagai contoh adalah inti piperidin. Senyawa terpenting dari piperidin alkaloid adalah coniin yang dijumpai pada tanaman Conium maculatumatau lebih dikenal dengan nama tanaman hemlock beracun (Wahyu, 1992).

Racun ini mudah menyebar karena mudah menguap sehingga dapat terhirup alat pernafasan.Komposisi kimia dari lima senyawa kimia yang terjadi dari conium alkaloid yaituconiin, δ-conicein, conhydrin, N-metilconiin dan pseudoconhydrin (Wahyu, 1992).

B. Sumber Piperidin
Piperidin alkaloid yang merupakan penyebab dari adanya keracunan pada hewan ternak dihasilkan tanaman hemlock beracun (Conium maculatum). Tanaman hemlock beracun bentuk dan namanya hampir serupa dengan tanaman hemlock air (Cicuta maculata). Tanaman hemlock beracun ini berasal dari Eropa,dan tersebar luas keluar Amerika khususnya ke daerah Amerika bagian Pasifik barat laut, utara bagian sentral dan daerah timur laut. Tanaman hemlock ini merupakan jenis tanaman yang kuat, tumbuh setinggi 6-10 kaki sepanjang sisi jalan, parit-parit halaman kandang maupun ditepi sawah (Wahyu, 1992).

Kemunculannya hampir sama dengan hemlock air maupun tanaman wortel liar (Daucus carota). Tanaman ini mempunyai daging tubuh cukup tebal dan akar tunggang putih, sedangkan hemlock air memiliki cabang akar tangkai yang menebal lebih menyerupai akar umbi dahlia. Bagian bawah dari hemlock air menjadi tempat penyimpanan racun. Tanaman, bagan dan biji hemlock beracun dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar Tanaman hemlock

Tanaman tersebut mempunyai ciri khas yaitu bau yang tidak menyenangkan, yang dapat segera diketahui jika berada didekat tanaman tersebut atau apabila daun atau batang dihancurkan. Alkaloid yang mudah menguap tersebut bersifat racun dan dapat menyebabkan keracunan pada saat bernafas. Conium alkaloid mengakibatkan dua pengaruh utama, yaitu kerusakan akut padasistem syaraf dan sebagai agen teratogenik (Sutardi, 1980).

C. Gejala Keracunan pada Ternak
Gejala keracunan hemlock beracun pada ternak adalah gelisah, getaran tanpa sebab, perbesaran pupil, detak jantung menjadi lemah, anggota badan menjadi dingin yang kesemuanya ini diakibatkan karena racun tersebut menyerang sistem syaraf sentral. Hemlock beracun ini dapat menyebabkan kecanduan pada ternak. Apabila alkaloid diberikan secara oral dan dalam tempo 30-40 menit pada kuda betina dan sekitar 1.5-2 jam setelah pemberian pada sapi dan domba betina, maka ternak mulai terlihat nervous, diikuti dengan gemetaran dan atasia. Gejala tersebut berakhir setelah 4-5 jam pada kuda betina dan 6–7 jam pada sapi dan domba betina.

Diantara ketiganya, sapi merupakan ternak yang paling sensitif terhadap alkaloid diikuti kuda dan domba yang paling tahan terhadap alkaloid. Sapi-sapi mengalami gejala keracunan berat pada dosis 3,3miligram coniin per kilogram berat badan, kuda pada dosis 15,5 mg/kg dan domba baru akan menampakkan gejala keracunan yang sama pada dosis coniin 44 mg/kg. Perbedaan yang tajam sampai 10 kali lipat terhadap pengaruh racun tersebut antara sapi dengan domba berhubungan dengan metabolisme hati, karena perbedaan serupa terjadi ketika racun coniin diberikan baik secara oral maupun injeksi.

Apabila dosis coniin harian terus diperbesar ternyata dapat membunuh sapi dengan dosis injeksi 16 mg/kg berat badan, dosis letal atau mematikan pada domba adalah 240 mg/kg. Keracunan akibat hemlock beracun yang terdapat pada benih biji-bijian penyebab keracunan pada babi muda atau unggas dianggap biasa. Konsentrasi alkaloid yang tertinggiterdapat pada biji-bijian (Suhardjo dan Kusharto, 1992).

Gejala lain yang terliihat adalah gemetar dan lemas. Benih biji dan daun tanaman bersifat teratogenik. Ketika pakan diberikan dalam 30-45 hari periode kebuntingan, conium dapat merusakkan celah dinding mulut bagian belakang dan setelah 43-53 hari periode pemberian akan muncul arthrogryposis, bersamaan dengan terjadinya pembengkakan persendian yang sangat parah, scoliosis dan hydrocephalus (Suhardjo dan Kusharto, 1992).

Ketika conium sudah diberikan selama 51-61 hari periode kebuntingan, akan terjadi kecacatan bentuk tulang yang tipenya hampir sama dengan yang terjadi pada kelompok pemberian 43-53 hari. Conium maculatum juga dapat menyebabkan perubahan bentuk fetus babi muda. Hemlock beracun tersebar luas di padang rumput dandisarankan untuk diwaspadai kemungkinan penggunaannya (Suhardjo dan Kusharto, 1992).

D. Pencegahan terhadap Keracunan Hemlock
Pencegahan terhadap keracunan hemlock beracun sebaiknya dilakukan dengan cara memonitor kandang, terutama kandang babi karena babi akan siap mengkonsumsi tanaman tersebut bila ada. Hemlock beracun tidak palatabel pada sapi, kuda dan domba dan jarang ternak tersebut akan mengkonsumsi jika ada pakan ternak lainnya. Oleh karena conium alkaloid mempunyai efek teratogenik pada sapi, perhatian sebaiknya dicurahkan pada sapi yang sedang bunting tiga bulan, diusahakan jangan sampai merumput pada pastura yang terdapat hemlock beracun. Biji-bijian mengandung konsentrasi toksikan yang tinggi, biji-bijian-dapat secara potensial terkontaminasi tanaman hemlock beracun sehingga-berbahaya apabila diberikan pada ternak. Meskipun herbisida dan kultivasi rutin-dapat mengurangi jumlah tanaman hemlock beracun, tetapi biji-bijian yang terkontaminasi masih potensial berbahaya (Surisdiarto dan Koentjoko, 1990).

Sumber: artikel ini dari:

http://ilmupeternakanuinsuska.blogspot.com/2013/04/zat-anti-nutrisi-alkaloida.html
Suhardjo Dan Kusharto, 1992. prinsip-prinsip ilmu gizi. penerbit kanisius.kerjasama pau pangan dan gizi ipb. Bogor.
Surisdiarto Dan Koentjoko, 1990. ilmu makanan ternak khusus non ruminanasia. fakultas peternakan universitas brawijaya. Malang.
Sutardi, T., 1980. Landasan ilmu nutrisi. Fakultas peternakan, institut Pertanian bogor. Bogor.
Wahyu, W. 1992. tanaman beracun pada ternak. Fakult as peternakan universitas brawijaya. malang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel