page hit counter -->

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP TATA NIAGA SAPI POTONG DI INDONESIA

Laju peningkatan populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat Indonesia akan mendorong peningkatan kebutuhan pangan, dan konsumsi menu makanan rumah tangga bertahap mengalami perubahan kearah peningkatan konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Komoditas daging, telur dan susu merupakan komoditas pangan yang berprotein tinggi memiliki harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya. Laju peningkatan konsumsi daging sapi yang mencapai 4,43%, dibandingkan dengan laju peningkatan produksi sapi potong sebesar 2,33%, maka dalam jangka panjang diperkirakan terjadi kekurangan produksi akibat adanya pengurasan ternak sapi yang berlebihan, sehingga masih disuplai dari impor sebesar 8.912.111 ton. Upaya dalam pengendalian populasi dan perngembangan usaha telah ditempuh oleh pemerintah melalui beberapa kebijakan dalam rangka mempertahankan penyediaan daging sapi lokal secara kontinyu.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyatakan, bahwa dalam kurun waktu tiga tahun sejak 1 Juni 2011 hingga 1 Mei 2013 telah terjadi penurunan jumlah populasi sapi dan kerbau sebesar 15,3 persen di dalam negeri. Akibatnya, pasokan daging sapi dan kerbau di dalam negeri berkurang, sehingga pemerintah mesti melakukan importasi. Dari hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, populasi sapi dan kerbau hingga 1 Mei 2013 sebanyak 14,17 juta ekor menurun sebanyak 2,56 juta ekor dibandingkan hasil pendataan sapi potong, sapi perah, dan kerbau tahun 2011 yang sebanyak 16,73 juta ekor.
Lewat pendekatan usaha pengembangbiakan (breeding) ternak, peningkatan jumlah ternak sapi pasti terjadi. Pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan kawasan usaha peternakan dari tindak penggusuran. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga mengamanatkan hal ini. Jika perlu, pemerintah menyediakan lahan tak terpakai di kawasan marjinal bagi pelaku usaha pengembangbiakan dengan harga sewa yang menarik untuk jangka panjang. Pajak dan berbagai perizinan harus dipermudah walaupun pemerintah tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan izin usaha.

A. Potensi Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Kebutuhan daging sapi terus meningkat seiring makin baiknya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas sapi potong.
Volume impor sapi potong dan produk olahannya cukup besar, setara dengan 600−700 ekor/tahun (Bamualim, 2011). Neraca kebutuhan daging sapi yang dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk. Ditinjau dari sisi potensi yang ada, Sulawesi Tenggara selayaknya mampu memenuhi kebutuhan pangan asal ternak dan berpotensi menjadi pengekspor produk peternakan. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber daya ternak dan peternak, lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan, produk sampingan industri pertanian sebagai sumber pakan, serta ketersediaan inovasi teknologi.
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP TATA NIAGA SAPI POTONG DI INDONESIA

Ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait dengan ketahanan pangan. Jadi jangan heran kalau di Indonesia ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas, kedelai dan sebagainya yang sulit dipisahkan dengan politik. Jangan heran jika untuk urusan ketersediaan pangan para politisi bersaing dengan para pedagang dan pencari rente untuk menjadi pengimpor, bukan pembudi daya sapi.
Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah, masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main, memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi potong (Bamualim, 2011).
Secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental will) dan legislatif berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Mudikdjo dan Muladno,1999).
Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan, kebijakan pemerintah dalam pembangunan peternakan masih bersifat top down. Kebijakan seperti ini pada akhirnya menyulitkan berbagai pihak, terutama stakeholder. Pertanyaannya bagaimana membuat kebijakan public yang didasarkan hasil riset dengan melibatkan stakeholder dan pembuat kebijakan melalui forum dialog, kemudian hasilnya diagendakan sehingga dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan nasional, regional, dan internasional.
Menurut Rustijarno dan Sudaryanto (2006), kebijakan pengembangan ternak sapi potong ditempuh melalui dua jalur. Pertama, ekstensifikasi usaha ternak sapi potong dengan menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit dan parasit ternak, peningkatan penyuluhan, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan atau hijauan, dan pemasaran. Kedua, intensifikasi atau peningkatan produksi per satuan ternak melalui penggunaan bibit unggul, pakan ternak, dan penerapan manajemen yang baik.
Budi daya sapi potong telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kebijakan ini diatur dalam pasal 29 dan 30.

C. Kebijakan Pemasaran Daging
Sistem pemasaran ternak sapi (hidup atau daging) di Indonesia pada umumnya sistem jual beli atau penetapan harga masih dengan metoda tradisional. Di pasar tradisional sistem jual beli ternak atau penetapan harga masih didominasi dan berdasarkan kepercayaan diantara pihak-pihak tertentu yaitu para pedagang pengumpul (tengkulak atau blantik). Dalam menentukan bobot ternak dilakukan dengan menaksir berdasarkan pengalaman peternak dan blantik, bukan berdasarkan bobot ternak atau kriteria tertentu. Dominasi blantik dalam pemasaran ternak sangat nyata baik di pasar-pasar desa maupun kecamatan, bahkan sampai ke kabupaten atau kota, dimana dominasi margin keuntungan pada umumnya berada pada pedagang, baik pengumpul atau blantik maupun pedagang besar di sentra konsumen, sedangkan peternak sebagai produsen ternak hanya mendapatkan margin keuntungan terendah. Di pasar tradisional, selain sistem transaksi yang belum transparan, bangunan fisik pasar ternak tempat transaksi berlangsung,masih sangat sederhana dengan kondisi fasilitas yang terbatas dan belum tertata dengan baik, belum menggunakan kriteria berat badan maupun menetapkan grade atau klas mutu dan menggunakan alat ukur (timbangan) sebagai dasar penentuan harga.
Pemasaran sapi potong dari hasil penggemukan yang dijual bisa dalam bentuk hidup maupun produk daging . Pasar sapi potong secara umum dibagi 2 yaitu pasar tradisional dan pasar tertentu seperti pasar swalayan maupun restoran, rumah sakit dan hotel. Di pasar tradisional, seperti biasa terjadi transaksi pedagang pengumpul di desa dengan para peternak. Kemudian pedagang pengumpul di desa menjual ternaknya ke pedagang antar kota atau pedagang pengumpul di kabupaten bahkan ke pedagang besar di provinsi atau didaerah konsumen yang selanjutnya akan menjual ternaknya ke pedagang pemotong atau jagal melalui Rumah Potong Hewan (RPH) untuk diperjualbelikan oleh para pengecer di pasar-pasar tradisional dalam bentuk daging kepada konsumen.
Pemasaran sapi potong telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kebijakan pemasaran diatur pasal 36. Selain itu, untuk menjaga stabilitas harga daging sapi diatur dalam Keputusan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 699/M-Dag/Kep/7/2013 tentang Stabilisasi harga Daging Sapi.

D. Kebijakan Impor Daging.
Kebijakan impor dilakukan dalam rangka mendukung kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1 ribu ton dari kebutuhan 385 ribu ton. Defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1,18 juta ekor. Kekurangan pasokan ini disebabkan sistem pembibitan sapi potong nasional masih parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.
Data Direktorat Jenderal Peternakan menyebutkan neraca produksi daging sapi nasional pada 2008 diperkirakan hanya memenuhi 64,9% dari proyeksi kebutuhan konsumsi sepanjang tahun ini atau Indonesia masih kekurangan 135.110 ton (35,1%) dari total kebutuhan daging. Dengan populasi 11,26 juta ekor produksi daging sapi nasional diperkirakan mencapai 249.925 ton dengan kebutuhan konsumsi daging diperkirakan mencapai 385.035 ton. Sementara itu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat, setiap tahun masyarakat Indonesia membutuhkan sekitar 350.000 sampai 400.000 ton daging sapi. Jumlah itu setara dengan sekitar 1,7-2 juta ekor sapi potong. Dari jumlah tersebut hingga saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30% daging sapi.

E. Kerugian Kebijakan Impor daging
Dampak yang timbul akibat kebijakan impor daging yang masuk ke Indonesia antara lain :
1.  Masuknya Virus PMK. Hal ini disebabkan oleh:
a.  Berpeluang masuknya kembali PMK di Peternakan Indonesia. Sejak awal tahun 1990-an hingga saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari PMK oleh OIE. Dengan demikian PMK merupakan penyakit eksotik yang perlu diwaspadai. Kebijakan impor daging dengan tanpa memperhatikan kondisi PMK dari negara asal tentu sama saja dengan memasukkan (mengimpor) penyakit ke Indonesia. Hal ini sangat beralasan karena tidak ada jaminan bahwa daging yang di impor adalah daging yang benar-benar bebas dari virus PMK. Selain itu, jika mengacu kepada kondisi sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) dan sistem kesehatan masyarakat veteriner (siskesmavet) Indonesia yang masih sangat lemah, potensi ancaman penyebaran PMK di Indonesia sangat besar. Apalagi proses eradikasi (pemberantasan) jika suatu negara tertular PMK membutuhkan dana dan waktu yang relatif lama.
b.  Menurunkan produktivitas ternak. Pada sapi potong, produktivitas kerja ternak penderitan PMK akan menurun. Hal ini juga berpengaruh pada penurunan bobot tubuh ternak. Ternak yang menderita PMK sulit mengonsumsi, mengunyah, dan menelan pakan. Bahkan pada kasus yang sangat parah ternak tidak dapat makan sama sekali.
2.  Kerugian Ekonomi
Kerugian ekonomi bagi peternak dan negara besaran impor daging sapi telah lama meresahkan beberapa kalangan peternakan Indonesia. Melihat besarnya potensi bisnis dan ditambah populasi penduduk yang sangat besar, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi negara-negara penghasil produk peternakan yang hendak memasukkan produk dagingnya ke Indonesia. Secara ekonomi makro dampak nyata impor daging ke Indonesia dapat menghancurkan perekonomian peternak. Bahkan dalam jangka panjang yang terjadi adalah timbulnya pengangguran dan tingkat kemiskinan baru, serta berkurangnya penerimaan pemerintah dari pajak yang seyogianya dapat dibayarkan oleh usaha dan industri peternakan. Hal ini harus dihindarkan karena pengangguran dan kemiskinan yang selama ini masih menjadi constraints penting dalam membangun bangsa yang tangguh dan berdaya saing, dan kehilangan potensi penerimaan pajak akan lebih memberatkan pelaksanaan program-program pembangunan.
3.  Menguras Devisa Negara
Impor komoditas peternakan sapi potong tentu saja menguras devisa negara. Multiplier effect (dampak pengganda) baik yang bersifat langsung dan tidak langsung (direct and indirect effects) yang ditimbulkan dari kegiatan impor komoditas tersebut antara lain menghambat peningkatan pendapatan peternak dalam negeri, menghilangkan kesempatan (opportunity loss) dalam menciptakan lapangan kerja baru, menghambat pengentasan kemiskinan melalui usaha peternakan dalam negeri, hilangnya peluang ekspor komoditas ternak dan hasil ternak Indonesia. Bahkan hilangnya peluang ekspor ternak, hasil ikutan ternak, hasil bahan hewan, dan pakan ini dapat berpengaruh secara global terhadap pembangunan peternakan (live stoc building) di suatu negara.
4.  Terganggunya Ketahanan Pangan Nasional Peternakan
Terganggunya ketahanan pangan nasional peternakan merupakan salah satu sektor penyedia pangan nasional. Hampir sebagian besar produk bahan asal hewan diproduksi dan disediakan oleh sektor ini. Sehingga jika sektor peternakan sedang diguncang oleh wabah penyakit (PMK) maka sangat sulit peternakan, khususnya peternakan sapi, kambing, domba, dan ternak berkuku genap lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kecenderungan peningkatan impor daging dan sapi bakalan maupun sapi potong seharusnya tidak hanya semata-mata karena senjang permintaan dan penawaran. Tetapi, disebabkan juga karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang relatif murah. Kondisi ini telah menyebabkan peternak lokal tidak mampu bersaing, atau kurang bergairah karena harga daging relatif murah.
5.  Merusak Usaha Dan Industri Peternakan Nasional
Dalam jangka panjang masuknya impor daging tersebut akan merusak usaha dan industri peternakan nasional. Usaha dan industri peternakan dalam negeri tidak mampu berproduksi karena tidak mampu membiayai biaya produksi dan biaya lainnya. Hal ini juga dapat menyebabkan ketergantungan terhadap produk impor akan semakin besar. Akibatnya, ketahanan pangan nasional terganggu. Padahal, ketahanan pangan merupakan kunci penting dalam membangun sebuah bangsa.
6.  Ketergantungan terhadap Produk Impor
Daging yang diimpor biasanya mempunyai mutu yang baik sehingga dagingnya terasa lebih enak dibandingkan daging lokal. Hal ini menyebabkan kebiasaan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging impor tersebut dan menjadi ketergantungan untuk terus menimpor daging dari negara lain.

Kesimpulan
Kebijakan Pemerintah terhadap tataniaga sapi potong di Indonesia adalah mengatur distribusi sapi potong di setiap daerah. Selain itu juga penetapan harga standar dapat ditentukan dengan adanya kebijakan pemerintah sehingga petani tidak dirugikan. Ketersediaan daging dalam pasar juga dapat diatur dan terpenuhinya kebutuhan akan daging sapi.
Apabila ketersedian daging tidak tercukupi, pemerintah membuat kebijakan impor daging. Kebijakan ini tentu juga diawasi supaya tidak merugikan peternak di Indonesia. Dampak buruk dari kebijakan ipor daging antara lain : Masuknya Virus PMK, Kerugian Ekonomi, Menguras Devisa Negara, Terganggunya Ketahanan Pangan Nasional Peternakan, Merusak Usaha Dan Industri Peternakan Nasional, Ketergantungan terhadap Produk Impor.

DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, AM. 2011. Pengembangan Teknoligi Pakan Sapi Potong di Daerah Semi-Arid Nusa Tenggara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Keputusan Mentri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 699/M-Dag/Kep/7/2013 tentang Stabilisasi harga Daging Sapi.
Kuswaryan, 2006. Kendala Kecukupan Daging. Prosiding Seminar Nasional Universitas Diponegoro. Semarang.
Mudikdjo, Muladno. 1999. Pembangunan Industri Sapi Potong pada Era Pasca Krisis. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Rustijarno, S. dan B. Sudaryanto. 2006. Peningkatan Ketahanan Pangan melalui Kecukupan Daging Sapi. Prosiding Seminar Nasional Universitas Diponegoro. Semarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel