page hit counter -->

PENGAWETAN KULIT DENGAN PENGGARAMAN

Kulit merupakan salah satu hasil samping dari penyembelihan ternak sapi, kambing, dan kelinci. Kebanyakan setelah ternak disembelih, maka akan di pisahkan antara kulit dengan daging ternak. Dagingnya dan kulit akan dijual secara terpisah. Jika daging dimanfaatkan untuk bahan pangan manusia, maka begitu pula dengan kulit. Kulit juga dimanfaatkan untuk bahan pangan manusia, namun ada pula yang menggunakan kulit sebagai bahan hiasan ataupun pakaian.
Untuk menjadikan kulit sebagai bahan pangan ataupun suatu barang, diperlukan suatu proses yang panjang. Sedangkan kulit tidak bisa bertahan lama. Jika dibiarkan begitu saja, maka kerusakan kulit akibat pembusukan akan meluas dan menyebabkan kulit tidak bisa di manfaatkan lagi. Untuk itu diperlukan proses pengawetan agar kulit dapat bertahan lama dan dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang. Proses pengawetan ini akan menekan pertumbuhan bakteri, sehingga kulit tidak mudah busuk. Secara umum proses pengawetan kulit mentah yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni pengawetan dengan cara pengeringan+ zat kimia, pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan, Pengawetan dengan cara garam basah, pengawetan dengan cara pengasaman (pickling). Makalah kelompok kami ini akan membahas pengawetan kulit dengan teknik penggarama

I.                   TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Aten (1966), pengawetan dengan cara penggaraman terbagi menjadi penggaraman kering (dry salting) dan penggaraman basah (wet salting). Stanley (1993), menambahkan bahwa peng garaman merupakan metoda pengawetan yang paling mudah dan efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat kondisi yang tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri. Kulit mentah segar bersifat mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya organisme. Kulit mentah tersusun dari unsur kimiawi seperti: protein, karbohidrat, lemak, dan mineral. Oleh sebab itu, perlu dilakukan proses pengwetan kulit sebelum kulit diolah lebih lanjut. Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Dengan demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme (Judoamdjojo, 1981).
Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan serat kulit (Purnomo, 1985). Menurut Muslich (1999), teknik penyamakan kulit dikelompokkan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra-penyamakan, penyamakan, dan pasca penyamakan. Proses pra-penyamakan (beam open house operation) meliputi perendaman, pengapuran, pembuatan daging, pembuangan kapur, pengikatan proten, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1985). Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses penyamakan yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya mendekati kadar air kulit segar. Tujuan perendaman adalah membuang zat padat seperti pasir, kerikil, parasit, sisa darah, urin, dan kotoran. Pencegahan proses pembusukan dalam perendaman dapat dilakukan dengan cara mengusahakan agar air perendaman tetap dingin, terutama di musim panas perlu digunakan termometer dan penambahan sedikit bakterisida (Mann, 1980).
Tujuan pengapuran adalah menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar keringat dan lemak, dan menghilangkan semua zat-zat yang bukan kolagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak. Oleh karena semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam lingkungan asam maka kapur di dalam kulit harus dibersihkan sama sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses penyamakan. Proses buang daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa daging (subcutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Proses buang bulu (scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Muslich, 1999). Pembuangan kapur (deliming) bertujuan untuk menurunkan pH yang disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit (Purnomo, 1985). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat (ZA). Garam itu memudahkan proses pembuangan kapur karena tidak ada pengendapan-pengendapan dan tidak terjadi pembengkakan kulit (Muslich,1999).
Pelumatan (bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna secara enzimatik. Bahan yang digunakan adalah oropon atau enzilen, yaitu bahan yang dibuat dari pankreas dan garam-garam ammonium sebagai aktivator (Judoamidjojo, 1974). Menurut Purnomo (1985), tujuan dari proses bating adalah menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan pigmen, sisa lemak yang tidak tersambungkan, dan menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal. Proses Bating diperlukan terutama untuk pembuatan kulit halus dan lemas, misalnya kulit box, pakaian, dan sarung tangan (Muslich, 1999). Menurut Mann (1980), waktu batingyang berlebihan dapat menyebabkan kulit menjadi lepas dan menipis karena banyak protein yang terhidrolisis sehingga mengakibatkan kekuatan tarik menjadi rendah.

II.                PEMBAHASAN

A.  Pengertian
Penggaraman merupakan pengolahan dengan menggunakan garam konsentrasi tinggi. Penggunaan garam dilakukan untuk mengawetkan dan menyamarkan kerusakan yang dapat terjadi pada bahan pangan. Secara umum proses penggaraman terdiri atas dua tahap yaitu penggaraman dan pengeringan.
B.  Tujuan dan Fungsi
Tujuan penggaraman adalah untuk pengawetan. Selain itu, untuk mendapatkan perubahan bahan yang diinginkan seperti tekstur, warna, dan mendapatkan karakteristik tertentu dari produk dengan aroma dan rasa yang khas. Fungsi dari penggaraman adalah menghambat atau membunuh bakteri pembusuk pada bahan dan membentuk struktur tertentu. Pada proses fermentasi garam berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak tahan terhadap garam namun menumbuhkan bakteri yang halotoleran terhadap garam. Garam juga memiliki kemampuan dalam mengikat air dalam jaringan sayuran sehingga terjadi perubahan tekstur dari produk yang dibuat. Pada proses pengolahan dengan enzimatis, fungsi garam adalah menyeleksi jenis enzim yang aktif. Enzim yang tidak tahan terhadap garam akan inaktif sehingga enzim yang aktif akan beraktivitas mendegradasi protein dan membentuk flavor dan aroma yang khas.
C.  Mekanisme Penggaraman
Mekanisme penggaraman terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu garam mengikat air didalam bahan. Tahap kedua yaitu menurunkan aktivitas air produk sehingga mikroba pembusuk dan perusak yang tidak tahan terhadap aw rendah tidak dapat tumbuh. Dan tahap ketiga adalah merubah konsentrasi intra dan ekstrasel dalam jaringan bahan sehingga menghasilkan tekstur tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penggaraman antara lain :
1.    Karakteristik dan sifat bahan
2.    Jumlah dan konsentrasi garam
3.    Suhu pengeringan
4.    Waktu penggaraman
5.    Tujuan penggaraman (fermentasi dan enzimatis)
Selama proses penggaraman akan terjadi perubahan-perubahan antara lain:
1.    Perubahan tekstur
Perubahan tekstur pada bahan secara umum disebabkan karena selama proses berlangsung terjadi penguapan air dan salting out akibat suhu pengeringan setelah dilakukan proses penggaraman. Perubahan tekstur menjadi keras disebabkan karena garam mengikat air dan menyebabkan perubahan konsentrasi antara intrasel dan ekstrasel dalam jaringan bahan. Konsentrasi ekstrasel meningkat dan menyebabkan air didalam sel mengalami osmosis dan berkurang. Keadaan ini menyebabkan tekstur produk menjadi lebih keras dan padat. Selain itu, protein juga mengalami proses koagulasi yang menyebabkan penurunan daya ikat air, akibatnya tekstur menjadi lebih kaku dan mengkerut. Perubahan tekstur yang lunak dapat disebabkan karena terjadi proses perubahan kolagen menjadi gelatin yang kemudian larut, selain itu fraksi lemak pada bahan meleleh.
2.    Perubahan warna
Perubahan warna pada bahan yang digaramkan terjadi karena proses reaksi mailard pada saat pengeringan dan terjadi oksidasi kandungan bahan.
3.    Perubahan berat
Penyusutan berat diakibatkan karena garam yang memiliki sifat hidrokopis akan menyerap cairan yang ada pada jaringan dan terjadi penurunan jumlah air bebas. Konsentrasi ekstrasel akan meningkat dengan adanya garam dan menyebabkan sel osmosis. Penyusutan bisa juga disebabkan karena hilangnya air bersama-sama dengan uap air saat dilakukan proses pengeringan. Sel pada saat terbuka dan menyebabkan air bebas dalam jaringan keluar. Penurunan berat juga terjadi karena pada proses pengeringan menggunakan uap panas sehingga terjadi proses leaching pada komponen protein dan lemak, sel menjadi rusak. Sel yang rusak akan menyebabkan jaringan terbuka dan menurunkan tekanan rigor mortis sehingga daya ikat protein menurun dan air ikut menguap bersama dengan titik atau uap air yang hilang.
D.  Tahap Pengawetan kombinasi Penggaraman dengan Pengeringan
Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat, kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2 hari.  Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20oBe.  Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter.  Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan garam.  Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat diprediksi dengan formulasi berikut.
Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut, sedangkan bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air pelarut.  Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam kotor) yang banyak dijual di pasaran. 
Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1 kg garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk  garam teknis.  Berdasarkan acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan tingkat kepekatan 20oBe, berarti untuk penggunaan garam murni dibutuhkan 20 kg (20 x 1% x 100 = 20) dan untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 = 30). 
Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni dengan melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk.  Bila garam tidak dapat larut lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang telah direndam ditiriskan pada bagian atas bak perendaman.  Bagian daging dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari berat kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi peresapan.  Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu dengan waktu pengeringan 3-5 hari. Kulit yang telah kering selanjutnya dilipat.
Dalam proses ini memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara lain :
1.        Keuntungan
a)        Selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim penghujan.    
b)        Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena  serat-serat  kulit tidak melekat satu sama lain.
c)        Kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi
2.        Kerugian
Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding cara-1 karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula
E.  Tahap Penggaraman Basah
Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam. Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan, tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya telah ditaburi dengan garam.  Kulit yang berada pada posisi paling bawah diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging menghadap keatas. 
Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah perendaman).  Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan kuda.  Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian bulu posisi kedua.  Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1 meter.  Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu  bagian bulu menghadap ke atas.  Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit demi sedikit.  Kulit yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa seluruhnya keluar.  Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau disimpan sebagai kulit garaman. Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih dari1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan.  Pengawetan dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim dingin/sejuk  yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini digunakan pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti kulit ikan dan kulit reptil.  jenis pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :
1.        Keuntungan 
a)        Pengawetan tidak tergantung dengan sinar matahari
b)        Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit
c)        Proses perendaman (soaking) dalam proses penyamakan kulit membutuhkan waktu yang singkat
d)       Pelaksanaan cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas
2.        Kerugian
a)    Untuk daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah masih disangsikan keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama.  Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit garaman adalah jenis bakteri halapofilik yang diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.
b)   Biaya pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang rendah.

III.             KESIMPULAN

Penggaraman merupakan pengolahan dengan menggunakan garam konsentrasi tinggi. Tujuan penggaraman yaitu untuk pengawetan pada kulit. Mekanisme penggaraman terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu garam mengikat air didalam bahan. Tahap kedua yaitu menurunkan aktivitas air produk sehingga mikroba pembusuk dan perusak yang tidak tahan terhadap aw rendah tidak dapat tumbuh. Dan tahap ketiga adalah merubah konsentrasi intra dan ekstrasel dalam jaringan bahan sehingga menghasilkan tekstur tertentu.,Proses penggaraman dibagi menjadi dua yaitu cara penggaraman dengan kombinasi pengeringan dan dengan cara penggaraman basah.

DAFTAR PUSTAKA

Aten, ARF. 1966. Flying and Curing of Hide and Skin as A Rural Industri. FAO.
Judoamidjojo, M. 1981. Defek-Defek pada Kulit Mentah dan Kulit Samak. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Mann, I. 1980. Rural Tanning Techniques. Rome: Food and Agriculture Organization of The UnitedNations.
Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. AkademiTeknologi Kulit . Yogyakarta: Departemen Perindustrian.
Stanley, A. 1993. Preservation of Rawstock. Leather the International Journal.195 (4662) Dec. 1993:27-30.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel