page hit counter -->

Penyakit Marek Pada Unggas


BAB I PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Penyakit pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi peternak khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Karena selain merusakkan kehidupan ternak, juga dapat menular kepada manusia (zoonosis). Kerugian ekonomi akibat serangan penyakit dapat ditekan jika diagnosa dan pengobatan dilakukan sedini mungkin, secara cepat dan tepat agar penyakit tidak menyebar ke ternak lain.

Penyakit Marek pada ayam pertama kali dilaporkan oleh seorang ahli patologi bernama Jozsef  Marek pada tahun 1907 dengan gejala utama berupa kerusakan syaraf. Penyakit ini kemudian tersebar luas di berbagai negara dan terutama menyerang ayam, tetapi unggas lainnya seperti burung puyuh, kalkun dan itik dapat pula tertular (Huminto, 2000).

Berhubung terdapat bermacam-macam galur virus dengan patotipe yang berbeda, maka gejala klinis dan patologisnya pun bervariasi (Adjid et al.,2002). Kewaspadaan terhadap penyakit Marek perlu ditingkatkan karena penyakit ini dapat menimbulkan pertumbuhan yang terhambat, kelumpuhan dan bahkan kematian. Khusus untuk ayam petelur, penyakit ini sering menimbulkan keluhan berupa terlambatnya umur produksi, target produksi tak tercapai dan ayam berhenti berproduksi sebelum waktunya (Huminto et al., 2000). Keadaan ini perlu diketahui oleh para peternak atau pihak-pihak lain yang terlibat dalam pemeliharaan ayam komersial sehingga tindakan pengendalian dapat dilakukan secara dini. Dengan demikian penyebaran penyakit Marek secara lebih luas dapat dicegah dan kerugian dapat ditekan.

BAB II PEMBAHASAN

A.      Penyakit Marek dan Penyebabnya
Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic pada unggas, terutama ayam, disebabkan oleh virus sangat infeksius dari herpesvirus cell-associated (Adjid et al.,2002). Penyakit Marek dapat ditularkan melalui sumber infeksi berasal dari folikel bulu ayam yang terinfeksi dan secara mekanik dapat ditularkan melalui kandang yang terkontaminasi atau petugas kandang. Penyakit biasanya menyerang ayam yang berumur tiga minggu ke atas tetapi paling sering menyerang ayam yang berumur 10 − 15 minggu atau 16 − 20 minggu, walaupun demikian wabah dapat pula terjadi pada ayam berumur 60 minggu (Huminto et al., 2000).

Di Indonesia Marek telah dikenal sejak tahun 1956 yaitu dengan nama neurolimfomatosis. Meskipun berbagai macam vaksin Marek telah diproduksi dan beredar di pasaran namun kejadian Marek dilaporkan tetap terjadi secara sporadis, baik pada flok ayam yang telah divaksin terhadap Marek maupun pada flok ayam kampung yang dipelihara secara intensif (Huminto et al., 2000).

Penyakit Marek yang disebabkan oleh virus herpes serotipe 1 paling sering menyerang ayam yang berusia muda (Adjid et al.,2002) dan secara eksperimental dapat menginfeksi kalkun, burung puyuh dan itik (Damayanti et al.,2002). Manifestasi penyakit sangat bervariasi karena dalam satu flok ayam dapat terserang oleh satu atau kombinasi dari beberapa galur virus Marek. Virus Marek ditularkan secara horizontal langsung maupun tidak langsung melalui sel epitel pada folikel bulu yang mengandung virus dan mengkontaminasi udara, kandang, peralatan dan petugas kandang. Virus ini sangat tahan terhadap lingkungan sehingga dapat bertahan hingga akhir siklus produksi. Selain ditemukan pada folikel bulu, virus juga ditemukan pada darah, mulut, hidung, mukosa trakhea dan kloaka, tetapi penularan yang efektif terjadi melalui saluran pernapasan (Shane, 1998).

B.       Gejala klinis
Ada beberapa versi yang dibuat untuk mengklasifikasi gejala klinis Marek. Menurut Payne (1985) Marek terbagi atas Marek klasik dan akut. Marek klasik ditandai oleh kerusakan syaraf yang berakibat pada kelumpuhan sehingga ayam dalam posisi satu kaki ditarik ke belakang, satu kaki dijulurkan ke depan. Selain itu, dapat pula terjadi kelumpuhan sayap, tortikolis dan sesak napas. Tumor superfisial secara klinis dapat terlihat pada mata, dasar pial, kulit, jari kaki dan folikel bulu. Marek yang akut adalah Marek yang tidak ditandai dengan gejala klinis seperti di atas dan ayam tiba-tiba mati. Menurut Bambang (1992) gejala klinis Mareks Disease dapat dibedakan menjadi 4 bentuk, yakni:
1.      Bentuk Neural, bentuk khas adalah jengger pucat, kelumpuhan pada sayap dan kaki.
Penyakit Marek Pada Unggas

2.   Bentuk Viceral, dengan tanda khas pada hati, ginjal, testis, ovary, dan limpha. Warnanya menjadi pucat dan hati menjadi 2 – 4 kali lebih besar dari ukuran normal.
Penyakit Marek Pada Unggas
 3.  Bentuk Ocular, dengan tanda khas terjadinya kebutaanatau iris pada mata yang berwarnakelabu atau seperti mutiara.
Penyakit Marek Pada Unggas
 4.      Bentuk Skin Form, dengan tanda khas terjadinya tumor di bawah kulit dan otot.
Penyakit Marek Pada Unggas

Selain Marek klasik dan akut menempatkan transient paralysis (kelumpuhan sementara) sebagai gejala klinis yang ketiga dimana ayam tiba-tiba terserang kelumpuhan 1 − 2 hari lalu ayam sembuh kembali. Menurut Huminto  (2000) kematian akut tersebut sebelumnya ditandai oleh depresi dan ataksia, tetapi jika penyakit menjadi kronis ayam terlihat pucat, anoreksia, dehidrasi, diare, pincang, lumpuh sayap, buta, sesak napas, produksi telur menurun, dan angka konversi pakan menurun. Secara klinis Ginting (1980) membagi Marek atas tiga kelompok: Marek Klasik sesuai dengan yang digambarkan oleh Marek pada tahun 1907 dengan gejala utama berupa kerusakan syaraf kronis dan pembentukan limfoma. Marek Akut yang bersifat lebih patogen dan mulai mewabah pada tahun 1950 an di berbagai negara yang ditandai dengan limfoma di berbagai organ. Marek Perakut yang bersifat paling patogen dan mulai muncul pada tahun 1980-an sampai sekarang yang ditandai dengan kematian mendadak atau early mortality syndrome (EMS).

C.       PATOLOGI ANATOMI (PA)
Kelainan pasca mati penyakit Marek yang utama dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni kerusakan syaraf dan pembentukan limfoma. Selain kerusakan syaraf dan pembentukan tumor, Marek dapat pula menimbulkan aterosklerosis pada arteri koronarius, aorta dan cabang-cabangnya (Payne, 1985), atropi bursa Fabrisius dan timus disertai nekrosis pada limpa (Payne, 1985).
1.   Kerusakan syaraf
Syaraf dapat membengkak dua hingga tiga kali ukuran normal disertai oedema, hilangnya garis-garis melintang dan warna syaraf menjadi keruh dan kuning keabu-abuan. Kerusakan syaraf tersebut paling sering bersifat unilateral dan dapat menyerang syaraf perifer, pangkal ganglion dan pangkal syaraf spinal. Kerusakan syaraf ini paling mudah dilihat pada syaraf ischiadicus dan brachialis (Damayanti dan Hamid. 2002).
2.   Tumor Limfoid
Tumor berupa limfoma dapat terbentuk di berbagai lokasi, misalnya pada folikel bulu pada sayap (disertai lesi pada otot berupa gurat-gurat putih dan kemerahan kulit), mata (iris) dan organ viseral (paruparu, jantung, proventrikulus, mesenterium, usus, hati, limpa, pankreas, ginjal, kelenjar adrenal, ovarium, bursa Fabrisius dan timus. Secara umum limfoma pada Marek dapat bersifat difus atau nodular, berwarna keabu-abuan, konsistensi padat dan permukaan bidang sayatan halus. Khusus untuk organ hati maka limfoma ini menyebabkan hilangnya pola lobular (Damayanti dan Hamid. 2002)..

D.       DIAGNOSIS
Kriteria yang harus diperhatikan antara lain, sejarah penyakit, umur ayam yang terserang, aspek klinis dan patologis.
1.   Sejarah penyakit
Data tentang jenis kelamin, galur ayam, wabah sebelumnya, jenis dan tanggal vaksinasi, angka morbiditas dan mortalitas harus diketahui dengan baik.
2.   Umur ayam
Khusus mengenai umur, penyakit Marek biasanya muncul pada umur 2−5 bulan, tetapi ayam umur 3 minggupun dapat terserang (Huminto et al.,1969), demikian pula ayam yang berumur 60 minggu ke atas. Perlu diwaspadai bahwa jika flok ayam petelur terserang Marek meskipun sudah dilakukan vaksinasi maka hal ini menunjukkan bahwa flok terserang oleh virus Marek dari galur yang lebih virulen (Damayanti dan Hamid. 2002).
3.   Aspek klinis dan patologis
Gambaran klinis, pasca mati dan histopatologi hendaknya diamati secara seksama, terutama yang menyangkut hal-hal yang spesifik. Menurut Tabbu  (2000),  uji virologi dan serologi tidak banyak membantu dalam menentukan diagnosis karena Marek bersifat amat menular sehingga hampir dipastikan semua flok sudah terserang walaupun tidak selalu menimbulkan gejala klinis.

E.        Cara penularan penyakit
Hewan yang sakit ataupun hewan yang sembuh dari Marek dan menjadi karier akan mengeluarkan virus ke lingkungan. Penyakit Marek menular secara horizontal, tetapi tidak secara vertikal (Tabbu, 2000). Penularan penyakit secara horizontal dapat secara langsung maupun tidak langsung secara per inhalasi ke saluran pernafasan. Folikel bulu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang paling produktif dalam perkembangan virus infeksius dan sangat potensil menyebarkan infeksi, meskipun virus Marek dapat berada dalam darah, pada mulut, hidung, mukosa trakhea dan kloaka. Shane (1998) menyatakan virus MD ini kemudian mengkontaminasi lingkungan (udara, litter, debu, peralatan kandang, petugas kandang, dan lain-lain).

 Penularan penyakit dari sumber infeksi potensial (folikel bulu dan debu kandang terkontaminasi virus MD, dan lain-lain) paling efektif terjadi melalui inhalasi ke saluran pernapasan. Huminto (2000) menyatakan penularan penyakit melalui vektor serangga dan koksidia tidak terjadi, kecuali sejenis kumbang (darkling beetles/Alphitobius diaperinus) yang dapat membawa virus secara pasif. Meskipun penyakit Marek tidak selalu berakhir dengan kematian namun sekali ayam terinfeksi maka viremia akan tetap berlangsung sehingga ayam menjadi karier yang berpotensi untuk menyebarkan infeksi (Adjid et al.,2002).

F.        PENGENDALIAN PENYAKIT
Penyakit Marek tidak dapat diobati dengan efektif baik secara individual maupun pada flok secara keseluruhan, namun demikian kejadian penyakit Marek dapat dicegah dengan melakukan berbagai cara, antara lain: vaksinasi, pemilihan galur ayam yang lebih resisten terhadap Marek serta sistem manajemen untuk meningkatkan sanitasi dan biosekuritas.
1.      Vaksinasi
Sampai saat ini vaksinasi masih dianggap sebagai strategi utama dalam mencegah penyakit Marek. Vaksin Marek dapat berbentuk monovalen atau bivalen, 1. Vaksin monovalen biasanya berasal dari serotipe 1 yang diatenuasi (misalnya Rispen) atau serotipe 3 (HVT), sedangkan vaksin bivalen biasanya berupa gabungan serotipe 3 (HVT) dan serotipe 2 (misalnya SB-1 atau 301B). Vaksin Marek dapat diberikan dengan cara menginjeksi embrio pada hari ke 18 (in ovo) atau pada saat ayam baru menetas (sub kutan). Oleh karena vaksinasi baru akan memberikan proteksi penuh pada 7-10 hari pasca vaksinasi, maka pengawasan ketat terhadap sanitasi amat dibutuhkan pada masa kritis ini. Jika vaksinasi sudah diberikan tetapi wabah tetap terjadi maka revaksinasi oleh vaksin sejenis percuma untuk dilakukan karena ini pertanda bahwa ayam terserang oleh virus Marek dari jenis yang lebih virulen Hal ini memperlihatkan suatu kegagalan vaksinasi. Payne (2000) menyatakan beberapa hal yang dapat mengakibatkan kegagalan program vaksinasi, yaitu (1) ayam terinfeksi oleh virus ganas sebelum vaksin bekerja sempurna dalam tubuh ayam; (2) pembentukan respon kekebalan akibat vaksinasi terhambat karena adanya antibodi maternal dalam tubuh ayam; (3) ketidaksesuaian dalam aplikasi vaksin; (4) vaksin yang digunakan berasal dari strain yang tidak protektif. Bila ada ayam yang terserang Marek tidak ada pengobatan dan sebaiknya ayam yang terindikasi haurs dimusnahkan dan bangkainya harus dibakar (Ginting, 1980).
2.      Resistensi genetik
Mentransfer gen asing dengan cara menyisipkan gen virus Marek pada genom ayam sehingga terjadi superinfeksi antigen protektif virus Marek (Adjid et al.,2002).
3.      Sistem manajemen
Penerapan sistem manajemen yang semata-mata mengutamakan peningkatan produksi ayam dapat mendukung terjadinya mutasi virus Marek. Upaya-upayamencegah Marek Disease seperti menutup area kandang dengan sistem penyaringan udara; penggunaan ayam specific pathogen free (SPF); desinfeksi kandang setiap kali selesai siklus produksi dan pemanfaatan materi transgenik untuk memblok replikasi virus secara in vivo (Adjid et al.,2002).

G.    Diferensial Diagnosa
Penyakit lain yang mirip dengan MD adalah Limfoid leukosis (LL). Marek’s disease ditemukan pada ayam muda dan menimbulkan lesi pada saraf perifer. Penyakit ini ditandai oleh adanya sel-sel limfoid yang berbentuk heterogen. Meskipun demikian, Marek dapat juga menimbulkan tumor pada berbagai organ ayam dewasa dan menimbulkan tumor pada bursa fabricius. Penyakit ini ditandai oleh adanya sel-sel tumor tipe blas yang berbentuk seragam. Asumsi yang penting di dalam diagnosis LL adalah terbentuknya tumor pada burca fabricius pada ayam umur >16 minggu (Tabbu., 2000). 

Pada pemeriksaan pasca-mati, MD kerapkali dikelirukan dengan ML (Mieloid leukosis) sehubungan dengan tidak terbentuknya tumor pada bursa fabricius dan adanya tumor pada berbagai organ viseral. Namun, tumor spesifik pada kasus ML, yang tergolong mielositoma pada mukosa laring, trakea, koste, sternum dan kranium akan membedakan penyakit ini dengan MD (Tabbu., 2000).
H.    Kasus di Indonesia
Ginting (1980) melaporkan bahwa pada tahun 1972 − 1976 kasus Marek yang didiagnosis di bagian Patologi - Balitvet berkisar antara 9,96% − 24,48% dari 596 sampel yang diperiksa. Sementara itu penelitian di daerah Bogor dan sekitarnya menunjukkan bahwa dari 51 kasus dengan leukosis kompleks, 38 (74,5%) merupakan Marek. Sementara itu Huminto et al., (2000) melaporkan tentang kasus Marek yang terdiri atas tujuh kasus yang berasal dari peternakan ayam ras petelur (26 hari − 28 minggu) yang sudah divaksin terhadap Marek dan satu kasus yang berasal dari peternakan ayam kampung (16 minggu) yang dipelihara secara intensif. Kedelapan sampel tersebut berasal dari flok yang berbeda dan didiagnosis di laboratorium Patologi FKH-IPB. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan tumor limfoid di ovarium dan sejumlah organ viseral sehingga menghambat perkembangan folikel telur dan laju pertumbuhan badan serta menimbulkan kelumpuhan dan kematian.

Lebih jauh Tabbu (2000) melaporkan bahwa pemeriksaan patologik pada ayam pedaging yang berasal dari 23 peternakan komersial di berbagai daerah di Indonesia dan 5000 ekor ayam pedaging di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa lesi Marek yang muncul relatif lebih ringan dari pada yang ditemukan pada ayam ras petelur dan ayam kampung. Marek bentuk ringan tersebut biasanya berupa tumor limfoid pada organ terbatas (proventrikulus, limpa, hati dan ginjal)  Meskipun mortalitas-nya rendah, Marek bentuk ringan ini bersifat imunosupresif sehingga ayam mudah terserang penyakit lain dan ayam menjadi sumber infeksi yang potensial. 

Fakta tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan kita semua mengingat di Indonesia ayam padaging biasanya tidak divaksin terhadap Marek karena waktu pemeliharaan yang relatif pendek. Sampai saat ini Balitvet masih terus menerima sampel penyakit Marek, walaupun prosentasenya relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit Marek bersifat sporadis dan meskipun vaksinasi sudah dilakukan tetapi mutasi virus Marek terus berlangsung. Kasus Marek yang didiagnosis di Balitvet tentu saja tidak mencerminkan kondisi di lapangan yang sesungguhnya karena biasanya peternak mengafkir ayam yang dicurigai terserang Marek hanya dari tanda klinis dan gambaran pasca mati.

KESIMPULAN
1.   Penyakit Marek adalah suatu penyakit neoplastik dan neuropathic pada unggas, terutama ayam, disebabkan oleh virus sangat infeksius dari herpesvirus cell-associated .
2.      Penyakit Marek dapat ditularkan melalui sumber infeksi berasal dari folikel bulu ayam yang terinfeksi dan secara mekanik dapat ditularkan melalui kandang yang terkontaminasi atau petugas kandang. Penyakit biasanya menyerang ayam yang berumur tiga minggu ke atas tetapi paling sering menyerang ayam yang berumur 10 − 15 minggu atau 16 − 20 minggu, walaupun demikian wabah dapat pula terjadi pada ayam berumur 60 minggu.
3.   Penyakit Marek tidak dapat diobati dengan efektif baik secara individual maupun pada flok secara keseluruhan, namun demikian kejadian penyakit Marek dapat dicegah dengan melakukan berbagai cara seperti vaksinasi, resistensi genetik dan perbaikan manajemen.

DAFTAR PUSTAKA

Adjid, R.M.A. Damayanti, R. Hamid, H. Sjafriati, T. dan Darminto. 2002. Penyakit Marek Pada Ayam: I. Etiologi, Patogenesis Dan Pengendalian Penyakit. WARTAZOA Vol. 12 No. 2. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Bambang. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Yogyakarta : Kanisius.
Damayanti, R dan Hamid, H. 2002. Penyakit Marek pada Ayam: II. Aspek Klinis, Patologis dan Diagnosis. WARTAZOA Vol. 12 No. 2. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Ginting, Ng. dan B.P.A. Radjaguguk. 1980. Data tentang penyakit Marek di Indonesia. Bulletin LPPH 19:33- 41.
Huminto, H., B.P. Priosoeyanto, I.W.T. Wibawan, D.R. Agungpriyono, E. Harlina, dan S. Fatimah. 2000. Kasus diagnostik penyakit marek pada ayam. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan, Bogor. Hlm 543-546.
Payne, L.N. 1985. Marek’s Disease: Scientific Basis and Methods of Control. Martinus Nijhoff Pub. Boston. Dordrecht. Lancaster.
Payne, L.N. dan K. Venugopal. 2000. Neoplastic diseases: Marek’s disease, avian leucosis and reticuloendotheliosis. Rev. Sci. Tech.off Int. Epiz. 19(2):544-564.
Shane, M.S. 1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas. American Soybean Association. pp.66-69.
Tabbu., C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Volume 1. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 142 – 150


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel