page hit counter -->

PENYAKIT GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA AYAM

Penyakit Gumboro atau Penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) merupakan penyakit pada ayam yang pertama kali dilaporkan oleh Cosgrove pada tahun 1962 berdasarkan kasus yang terjadi pada tahun 1957 di desa Gumboro-Delaware, negara bagian Amerika Serikat. Sesuai dengan nama asal daerah ditemukannya, penyakit ini dikenal juga sebagai Gumboro. Penyebab penyakit gumboro (IBD) adalah virus yang berbentuk icosahedral yang terdiri dari 2 segmen untaian ganda RNA, yang termasuk dalam famili Birnaviridae (Lukert dan Saif, 2003) Virus very virulent IBD (vvIBDv) bersifat sangat menular dan akut, menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penyakit ini berdampak ekonomis karena menyerang organ pertahanan ayam yaitu bursa Fabricius sehingga merugikan peternak. Ayam yang terserang gumboro (IBD) menjadi rentan terhadap infeksi sekunder, serta mengakibatkan kegagalan vaksinasi (Lukert dan Saif, 2003).

NAMA LAIN
            Nama lain: Infectious Bursal Disease (IBD), Avian nephrosis atau Avian Infectious Bursitis. Merupakan penyakit menular akut pada ayam berumur muda yang ditandai dengan peradangan berat bursa fabrisius dan bersifat immunosupresif yaitu lumpuhnya system pertahanan tubuh ayam yang mengakibatkan turunnya respon ayam terhadap vaksinasi dan ayam-ayam menjadi lebih peka terhadap pathogen lainnya.

ETIOLOGI
            Virus penyebab Gumboro (IBD) yang dikenal saat ini terdiri dari 2 serotipe yaitu serotipe 1 dan serotipe 2 yang dapat menginfeksi ayam dan kalkun. Serotipe 1 yang pertama kali ditemukan disebut dengan strain klasik yang bersifat patogen dan strain yang ditemukan kemudian di daerah Amerika merupakan strain varian yang sangat ganas yaitu very virulent IBD (vvIBD). Virus IBD tersebut merupakan hasil mutasi dari virus klasik, sementara serotipe 2 tidak bersifat ganas. Kedua serotipe dapat dibedakan dengan uji virus netralisasi (VN) tetapi tidak dapat dibedakan dengan Flourescent Antibody Technique (FAT) dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa) (Lukert dan Saif, 2003). Virus IBD berdiameter 55 nm, merupakan virus yang tidak memiliki amplop dan dikelilingi oleh protein capsid yang berbentuk ikosahedral (Hirai dan Shimakura, 1974). Virus ini tergolong dalam famili Birnaviridae. Sesuai dengan namanya, virus terdiri dari 2 segmen utas ganda RNA, yaitu segmen A mempunyai ukuran 3300 pasang basa, yang terdiri dari 2 bagian Open Reading Frame, yaitu A1 dan A2.

PATOGENESIS
Patogenesis adalah jalannya virus sehingga menimbulkan lesi, yang dapat menyebabkan kematian, penyakit atau efek imunosupresif pada ayam. Penyakit Gumboro (IBD) menyerang ayam umur 3 – 6 minggu pada saat perkembangan bursa Fabricius mencapai optimum. Pada saat yang sama antibodi asal induk mulai menurun, sehingga ayam rentan terhadap infeksi virus IBD. Sebaliknya, penyakit Gumboro (IBD) tidak membahayakan bagi ayam yang telah mengalami regresi bursa Fabricius, karena target sel virus IBD adalah sel limfoid bursa Fabricius yang sudah matang. Infeksi IBD menyebabkan kerusakan pada bursa Fabricius yang berupa nekrosis dan apoptosis pada sel limosit B Infeksi pada umumnya melalui oral bersama pakan yang tercerna virus masuk ke dalam usus. Virus kemudian ditangkap oleh sel makrofag atau limfosit sebagai Antigen Precenting Cell (APC). Keberadaan IBD dapat dideteksi 13 jam paska infeksi pada sebagian besar folikel (Van Den Berg, 2000).
Penyebab kematian belum diketahui secara pasti. Namun demikian pada fase akut teramati sindroma septic shock, dimana terjadi respon imun yang berlebihan, yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi TNF-α yang berlebihan di dalam serum darah ayam, yang kemudian diikuti terjadinya kematian (Sharma et al. dalam Asraf, 2005).
Infeksi virus IBD yang ganas menyebabkan kerusakan yang parah hingga terjadi deplesi sel limfoid pada folikel bursa Fabricius, sehingga ukuran bursa terlihat mengecil, hingga mencapai 1/4 – 1/5 dari ukuran bursa Fabricius pada ayam kontrol. Bila tidak terjadi penyembuhan pada bursa Fabricius ayam, akan menyebabkan hambatan produksi antibodi yang dibentuk oleh sel B. Selain itu pada infeksi IBD banyak sel makrofag dan sel heterofil yang mengalami nekrosis dan apoptosis menyebabkan fungsi fagositosis yang menurun (Lam, 1998). Kedua kondisi tersebut menyebabkan ayam yang terinfeksi IBD menjadi imunosupresif.

GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang terlihat sangat tergantung dari strain virus yang menginfeksi ayam, jumlah virus, umur, galur ayam, rute inokulasi dan keberadaan antibodi penetralisasi (Muller et al., 2003). Virus yang masuk ke dalam tubuh ayam ditangkap makrofag, yang kemudian melepaskan sitokin yang menimbulkan respon inflamasi.
Gejala klinis ditimbulkan oleh infeksi IBD adalah ayam lesu, nafsu makan menghilang dan sayap menggantung (Park et al., 2009; Acribasi et al., 2010). Selain itu juga sering ditemukan gejala diare, serta kotoran yang menempel pada kloaka (Parede et al., 2003). Pada ayam muda tanpa antibodi maternal, gejala klinis mulai terlihat pada 48 jam pi dan gejala klinis semakin parah pada 56 – 72 jam paska infeksi (William dan Davison, 2005). Sementara itu, pada ayam yang divaksinasi, gejala klinis terlihat 3 hari pasca tantang, dan ayam-ayam tersebut mati setelah 2 – 3 hari memperlihatkan gejala klinis (Park et al., 2009). Ayam yang bertahan hidup, pertumbuhan menjadi terhambat dan sering kali ditemukan infeksi sekunder seperti Newcastle Disease, Coli Bacillosis dan Coccidiosis (Muller et al., 2003).
Wabah IBD akut yang disebabkan virus IBD klasik yang menyerang ayam pedaging umur > 3 minggu ditandai dengan angka morbiditas yang tinggi namun secara klinis terlihat ada penyembuhan setelah 5 – 7 hari ayam sakit. Infeksi pada ayam yang mempunyai antibodi maternal menunjukkan gejala subklinis, namun lesi dapat diamati secara histopatologik (Lukert dan Saif, 2003)
PENYAKIT GUMBORO (INFECTIOUS BURSAL DISEASE) PADA AYAM
DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit gumboro (IBD) dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis, perubahan patologi anatomi dan histopatologi. Perubahan patologi yang patognomonik adalah perubahan yang ditemukan pada bursa Fabricius. Namun demikian, diagnosis gumboro (IBD) sebagai penyebab primer perlu ditunjang dengan teknik diagnosis yang lain karena gejala infeksi virus gumboro (IBD) mirip dengan ND atau penyakit lain penyebab imunosupresif. Hal ini bisa diatasi dengan pewarnaan imunohistokimia, untuk mendeteksi keberadaan antigen virus IBD pada organ bursa Fabricius. Antigen virus IBD dapat dideteksi 3 jam paska infeksi pada bagian korteks folikel limfoid bursa Fabricius. Antigen dapat dideteksi pada makrofag di dalam folikel bursa Fabricius dan pada sel epitel 96 jam paska infeksi (Oladele et al., 2009). Keberadaan antigen IBD pada bursa Fabricius berkorelasi positif dengan terjadinya lesi pada bursa Fabricius (Rautenschlein et al., 2005).
Antigen virus IBD juga terdeteksi pada organ timus, limpa, secal tonsil, sel epitel tubulus dan glomerulus ginjal, lapisan mukosa dan glandula pada proventrikulus serta pada sel Kupffer pada hati (Oladele et al., 2009). Antigen virus IBD juga dapat dideteksi pada itik dan kalkun yang diinfeksi dengan virus IBD, namun demikian jumlah antigen yang dideteksi relatif lebih sedikit (Oladele et al., 2009)
Diagnosis penyakit gumboro (IBD) dapat juga dilakukan dengan cara mengisolasi virus yang diduga sebagai penyebab, yang ditumbuhkan pada telur ayam berembrio berumur 11 hari atau biakan jaringan, namun diperlukan waktu relatif lama dan tidak semua strain virus IBD dapat tumbuh di telur atau biakan jaringan. Teknik uji netralisasi virus dapat digunakan untuk mendeteksi IBD, dan dari hasil deteksi dapat dibedakan antara IBD klasik dan IBD varian (Oie, 2008). Sedangkan Antigen-capture ELISA dapat digunakan untuk membedakan antara IBD sangat virulen dengan IBD yang kurang patogen. Sementara itu, teknik RT-PCR dapat membedakan serotipe IBD, sedangkan subtipe IBD dapat dibedakan dengan real-time RT-PCR (Currie, 2002). Virus IBD dapat dideteksi pada jaringan yang telah dibuat sebagai blok parafin dengan real time RT-PCR dan hasilnya menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara lesi dan hasil deteksi antigen (Hamoud dan Villegas, 2006).

PENYEBARAN
Penyebaran penyakit sudah sampai ke Indonesia pada tahun 1983, ketika ditemukan kasus di Sawangan, Bogor (Partadiredja et al., 1983). Pada periode tahun 1990-an, penyakit IBD telah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa hampir semua isolat yang diperoleh berkerabat dekat dengan virus very virulent IBD (vvIBDv) (Parede et al., 2003).
Penularan penyakit gumboro dari satu ayam ke ayam lain sangat cepat dalam waktu singkat ( 18 - 36 jam) seluruh ayam dalam kandang dapat ketularan. Kematian terjadi pada hari ke-3 sampai ke-5. Penybaran benih-benih penyakit melalui makanan,air minum, alat-alat dan tempat-tempat yang tercemar oleh feces dan makanan yang dimuntahkan. Virus penyakit gumboro stabil dan resisten, dapat dipindahkan satu tempat ketempat yang lain oleh orang, alat-alat peternakan yang tercemar. Sebuah peternakan yang pernah terjangkit Virus gumboro, maka Virus ini akan tetap infektip dan berdiam dalam peternakan tersebut untuk waktu yang lama. Menurut penelitian virus gumboro dapat hidup sampai 122 hari. Tidak ada carrier (hewan yang sembuh dan mwngandung virus yang dapa6t ditularkan). Penyakit ini tidak dapat dipindahkan melalui telur yang ditetaskan dan diduga juga tidak dapat disebakan melalui udara.

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Usaha pencegahan dan pengendalian supaya gumboro tidak mewabah adalah:
a.   Melakukan sanitasi lingkungan secara berkala, dengan disinfektan.
b.   Memberikan kondisi nyaman pada ayam terutama pada masa brooder, suhu brooder sesuai dengan kebutuhan anak ayam. Disesuaikan juga kondisi lingkungan, apabila suhu lingkungan sangat panas suhu brooder bisa disesuaikan. Pemberian pakan berkualitas dan minum dengan vitamin elektrolit dan anti strees. Perlakuan anak kandang yang baik, karena apabila perlakuan tidak baik dapat mengakibatkan stress pada ayam, dengan stress dapat menurunkan system kekebalan tubuh.
Pengendalian terhadap penyakit IBD yang efektif adalah dengan melakukan program vaksinasi yang teratur disertai dengan program biosekuritas, diikuti dengan deteksi titer antibodi untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi dengan uji serum netralisasi atau ELISA (Oie, 2008)
1.   Vaksinasi
Vaksinasi pada ayam pembibit merupakan langkah terpenting untuk mengendalikan gumboro (IBD), karena antibodi yang diproduksi induk akan diturunkan melalui telur kepada anak. Antibodi maternal dengan titer yang baik akan memproteksi ayam melawan penyakit gumboro (IBD). Sebagai contoh, program vaksinasi pada ayam petelur dapat dilakukan pada umur 12 sampai 15 hari dengan vaksin IBD aktif. Pada umur 30 – 33 hari dengan vaksin IBD aktif dan pada umur 85 hari dengan vaksin inaktif, serta pada umur 120 hari dengan vaksin inaktif (Butcher dan Milles, 2003). Vaksinasi ulang pada umur 38 – 40 minggu dengan vaksin inaktif perlu dilakukan jika ayam pembibit mempunyai titer antibodi yang rendah atau tidak seragam. Monitoring titer antibodi perlu dilakukan secara rutin untuk mengetahui apakah ayam telah memberikan respon yang baik atau untuk mengetahui aplikasi vaksin sudah dilakukan dengan benar atau belum.
Pencegahan dan pengendalian penyakit IBD pada ayam pedaging komersial diperlukan untuk mencegah penyakit IBD yang bersifat klinis. Ada tiga kategori vaksin yang digolongkan berdasarkan patogenisitasnya yaitu; mild, intermediate dan virulent. Tipe vaksin IBD intermediate paling umum digunakan. Vaksin ini dapat menstimulasi ayam pedaging dalam memproduksi antibodi lebih awal dari pada tipe vaksin mild, tanpa menyebabkan kerusakan bursa Fabricius seperti pada tipe vaksin virulen (Oie, 2008). Waktu vaksinasi tergantung pada titer antibodi maternal pada anak ayam. Titer antibodi maternal yang tinggi akan menetralisasi virus yang berasal dari vaksin. Jadi hanya sedikit respon kekebalan aktif yang akan dihasilkan, sehingga ayam akan mudah terinfeksi penyakit karena antibodi menurun, dan vaksinasi kemungkinan menjadi tidak efektif jika ayam terkontaminasi dengan virus IBD lapang yang lebih virulen. Vaksinasi IBD pada embrio merupakan alternatif vaksinasi yang memberikan kelebihan dibandingkan dengan vaksinasi setelah menetas yang umum digunakan. Hal ini disebabkan karena pada vaksinasi in ovo, titer antibodi maternal tidak perlu dimonitor untuk menentukan kapan vaksinasi harus dilakukan. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi in ovo dengan virus yang telah diatenuasikan tidak merusak bursa Fabricius dan dapat memberikan proteksi hingga 100% pada ayam yang ditantang pada umur 3 minggu (Moura et al., 2007). Meskipun vaksinasi menyebabkan perubahan HP pada organ bursa namun penyembuhan lebih cepat terjadi pada ayam yang divaksin in ovo daripada yang divaksin pascamenetas (Rautenschlein dan Haase, 2005). Namun, kelemahan vaksin ini adalah memerlukan alat vaksin masal dan ukuran telur yang seragam sehingga aplikasi vaksin tepat pada posisi yang diinginkan.
2.   Biosekuritas
Selain vaksinasi pelaksanaan terhadap program biosekuritas yang juga merupakan faktor penting dalam meminimalkan kerugian akibat infeksi IBD. Cserep menyatakan bahwa pada peternakan yang bebas dari Gumboro subklinis akan mendapatkan keuntungan 25% lebih besar, dibandingkan pada peternakan yang ditemukan kasus gumboro subklinis (Cooper, 2011). Upaya untuk melaksanakan biosekuritas dengan melakukan desinfeksi terhadap orang, peralatan atau kendaraan yang melintas antar kandang pada ayam pedaging komersial perlu dikontrol sehingga berjalan efektif untuk menurunkan paparan dari agen infeksi. Fenol dan formaldehid telah terbukti efektif digunakan untuk desinfeksi kandang dan lingkungan yang terkontaminasi. Antibiotik dengan jumlah seminimal mungkin diberikan pada kasus gumboro (IBD) yang disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Namun hal ini tidak disarankan pada kasus yang disertai dengan kerusakan ginjal yang sangat parah. Pemberian larutan elektrolit atau multivitamin sangat bermanfaat pada kasus penyakit yang berlangsung lama yang disertai penurunan nafsu makan. Ventilasi yang baik, suhu ruangan yang hangat dan air minum yang bersih akan mengurangi kematian. Setelah ayam dipanen, kandang harus dikosongkan dari semua unggas. Semua litter, sisa pakan harus dibuang, kandang harus dibersihkan dan didesinfeksi. Fumigasi perlu dilakukan menggunakan formaldehyde dan Kalium permanganat. Kandang harus dikosongkan minimal 3 minggu setelah dilakukan fumigasi, untuk dapat digunakan lagi.

KESIMPULAN
Penyakit gumboro (IBD) merupakan penyakit viral yang bersifat infeksius dan menular, menyebabkan efek imunosupresif. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar karena menyebabkan kegagalan program vaksinasi. Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan perubahan patologik yang diperkuat dengan deteksi antigen virus dengan teknik IHK. Pencegahan dengan memberikan vaksinasi telah rutin dilakukan, namun kasus masih sering terjadi. Penggunaan vaksin yang potensial dan diberikan pada saat antibodi maternal sudah menurun atau dengan menggunakan vaksin in ovo yang saat ini sudah dapat ditemukan di pasaran, diharapkan dapat mengurangi kasus yang terjadi di lapangan. Sudah saatnya dibuat vaksin isolat lokal yang diharapkan lebih protektif dibandingkan dengan vaksin isolat luar, karena sesuai dengan virus yang ada di lapang.

Postingan ini saya resume dari makalah milik :
Wahyuwardani, S., Agungpriyono, Parede, L., Manulu, w., 2011. Penyakit Gumboro: Etiologi, Epidemiologi, Patologi, Diagnosis Dan Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 21 No. 3.

DAFTAR PUSTAKA
Acribasi, M., A. Jung, E.D. Heller And S. Rautenschlein. 2010. Differences In Genetic Background Influence The Induction Of Innate And Acquired Immune Responses In Chickens Depending On The Virulence Of The Infecting Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Strain. Vet. Immunol. Immunopathol. 135: 79 – 92.
Asraf, S. 2005. Studies On Infectious Bursal Disease Virus. Disertasi.The Ohio University. Ohio.
Butcher, G.D. And R.D. Milles. 2003. Infectious Bursal Disease (Gumboro) In Commercial Broilers. Http://Edis.Ifas.Ufl.Edu. (27 Oktober 2008).
Currie, R.J.W. 2002. The Use Of A Rt-Pcr/ Rflp Test To Diagnose Ibd Variant Viruses: Implications For Vaccination Programmes Congresso De Ciências Veterinárias Proc. Of The Veterinary Sciences Congress, 2002, Spcv, Oeiras, 10 – 12 Oct. P. 249
Cooper, O. 2011. Biosecurity Key To Beating Gumboro. Poult World 165: 5 Proquest Agriculture J. P. 32.
Hamoud, M.M. And P. Villegas. 2006. Identification Of Infectious Bursal Disease Viruses From Rna Extracted From Paraffin-Embedded Tissue. Avian Dis. 50: 476 – 482
Hirai, K, And S. Shimakura. 1974. Structure Of Infectious Bursal Disease Virus. J. Virol. 14: 957 – 964.
Lam, K.M. 1998. Alteration Of Chicken Heterophil And Macrophage Functions By The Infectious Bursal Disease Virus. Microb. Pathogen 25: 147 – 155.
Lukert, P.D. And Y.M. Saif. 2003. Infectious Bursal Disease. In: Diseases Of Poultry 11Th Ed. Saif, Y.M., H.J. Barnes And J.R. Glisson (Eds.). Iowa State University Press. Pp. 161 – 17.
Moura, L., V.V. Vakharia, M. Li And H. Song. 2007. In Ovo Vaccine Against Infectious Bursal Disease. Int. J. Poult. Sci. 6: 770 – 775
Muller, H., M.R. Islam And R. Raue. 2003. Research On Infectious Bursal Disease-The Past, The Present And The Future. Vet. Microbiol. 97: 153 – 156.
Oie (Office International Des Epizooties). 2008. Infectious Bursal Disease (Gumboro Disease). In: Terrestrial  Manual. Chapter 2.3.12
Oladele, O.A., D.F. Adene, T.U. Obi And H.O. Nottidge.  2009. Comparative Susceptibility Of Chickens, Turkeys And Ducks To Infectious Bursal Disease Virus Using Imunohistochemistry. Vet. Res. Commun. 33: 112 – 121.
Parede, L.H., S. Sapats, G. Gould, M. Rudd, S. Lowther, And J. Ignjatovic 2003. Characterization Of Infectious Bursal Disease Virus Isolates From Indonesia Indicates The Existence Of Very Virulent Strains With Unique Genetic Changes. Avian Pathol. 32: 511 – 518.
Park, J.H., H.W. Sung, B.Ii. Yoon And H.M. Kwon. 2009. Protection Of Chicken Against Very Virulent Ibdv Provided By In Ovo Priming With Dna Vaccine And Boosting With Killed Vaccine And Adjuvant Effects Of Plasmid-Encoded Chicken Interleukin-2 And Interferon-Γ. J. Vet. Sci. 10(2): 131 – 139
Partadiredja, M., W. Rumawas Dan I. Suharyanto. 1983. Penyakit Gumboro Di Indonesia Dan Akibatnya Bagi Peternak Ayam. Hemerazoa 71(1): 29 – 33.
Rautenschlein, S., C.H. Kraemer, J. Vanmarcke And E.  Montiel. 2005. Protective Efficacy Of Intermediate And Intermedieate Plus Infectious Bursal Disease Virus (Ibdv) Vaccines Against Very Virulent Ibdv In Commercial Broilers. Avian Dis. 49: 231 – 237.
Van Den Berg, T.P. 2000. Acute Infectious Bursal Disease In Poultry: A Review. Avain Pathol. 29: 175 – 194.
William, A.E. And T.F. Davison. 2005. Enhanced Immunopathology Induced By Very Virulent Infectious Bursal Disease Virus. Avian Pathol. 34: 4 – 14.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel